Sabtu, 05 Februari 2011

mustafa Abd Rahman
KAIRO, KOMPAS — Masa depan Mesir menjadi serba tak pasti setelah ”Hari Kepergian”, Jumat (4/2), yang diikuti jutaan warga dalam aksi serentak di seluruh Mesir. Kemungkinan chaos, kekacauan politik, kelumpuhan ekonomi, dan perdamaian kawasan menjadi tantangan Mesir pasca-Mubarak.
Hingga berita ini diturunkan, Jumat pukul 23.00 atau 18.00 waktu Kairo, Presiden Hosni Mubarak belum menunjukkan tanda-tanda akan mengundurkan diri untuk memenuhi tuntutan rakyat Mesir. Meski demikian, akhir kekuasaan presiden yang sudah berada di puncak kekuasaan selama 30 tahun itu sudah di depan mata.
Hingga pukul 15.30 waktu Kairo, massa terus bergerak berduyun-duyun menuju Alun-alun Tahrir dari berbagai arah. Kompas merasakan suasana lapangan itu begitu tertib dan damai, berbeda jauh dengan sehari sebelumnya saat kelompok anti dan pro-Mubarak bentrok.





Bahkan, banyak warga Mesir yang datang ke Alun-alun Tahrir membawa keluarga mereka. Mereka dengan santai berfoto bersama di lapangan yang makin penuh sesak.
Tentara Mesir, yang menjaga Alun-alun Tahrir dengan tank dan kendaraan lapis baja dari berbagai arah, terlihat sangat kooperatif terhadap rakyat yang ingin memasuki lapangan. Tentara hanya meminta kartu tanda penduduk kepada setiap warga, kemudian memeriksa seluruh badan dan tas bawaan untuk mencegah ada senjata masuk ke Alun-alun Tahrir.
Banyak pula warga Mesir masuk ke Alun-alun Tahrir dengan membawa logistik, seperti puluhan kotak air mineral dan minuman ringan serta makanan kecil.
Tak ada yang diinginkan mereka kecuali perubahan di Mesir dan perbaikan nasib mereka. Mereka meyakini perubahan itu hanya terwujud jika Presiden Hosni Mubarak mundur dan ada pergantian kepemimpinan di Mesir.
Puncak konsentrasi massa akan terjadi pada malam hari. Alun-alun Tahrir, yang merupakan lapangan terluas di Kairo, terasa sempit dan serasa tak mampu menampung massa yang membeludak. Melihat penampilan mereka, sebagian besar massa anti-Mubarak berasal dari kelas bawah dan datang dari kampung-kampung kumuh di pinggir Kairo.
Di Alun-alun Tahrir (Pembebasan) itu, mereka berseru, ”Rakyat ingin menjatuhkan Mubarak... rakyat ingin menjatuhkan Mubarak” dan ”Tumbangkan Mubarak… tumbangkan Mubarak”.
Meski suara mereka yang berjumlah ratusan ribu itu terdengar bergegar, mereka mampu menahan diri dengan berdiri di tempat atau bergerombol. Ada pula mereka yang hanya duduk-duduk.
”Mereka hanya ingin memberikan satu pesan, yaitu Mubarak harus mundur. Mereka ingin kebebasan dan mereka menggores sejarah sejak 25 Januari lalu dengan mewujudkan kebebasan dalam berbicara dan berpendapat. Kami ini hanya ingin hidup terhormat,” ujar Ibrahim (35), seorang warga yang hadir di Tahrir.
Tantangan di depan
Dalam wawancara dengan stasiun televisi ABC News dari AS, Kamis, Presiden Mubarak mengaku sebenarnya ia sudah ”muak” dan ”ingin pergi” setelah mengabdi selama 62 tahun untuk Mesir. Akan tetapi, ia mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya chaos apabila ia mundur saat ini juga.
”Saya sudah muak. Setelah 62 tahun pengabdian kepada rakyat, saya merasa sudah cukup. Saya ingin pergi,” ujar Mubarak yang mengaku sangat sedih melihat bentrokan di antara sesama warga Mesir, Rabu.
Tekanan dari dunia internasional agar Mubarak mundur pun makin besar setelah 27 pemimpin negara Uni Eropa mengeluarkan pernyataan bersama di Brussels, Belgia, Jumat, yang menyerukan agar transisi kekuasaan di Mesir harus dilangsungkan sekarang.
Pemerintah Amerika Serikat juga dilaporkan sedang membicarakan pengunduran diri Mubarak secepatnya dan pembentukan pemerintahan sementara yang didukung militer dan bertugas menggelar pemilu yang bebas dan adil tahun ini.
Meski pengunduran diri Mubarak akan melegakan jutaan warga Mesir yang berkumpul di Alun-alun Tahrir dan kota-kota lain, pekerjaan berat menanti pemerintahan Mesir yang baru.
Demonstrasi, yang Jumat kemarin memasuki hari ke-11, menyebabkan perekonomian Mesir lumpuh total. Pasar modal, bank, dan pabrik-pabrik di Mesir sama sekali tak beroperasi selama demonstrasi berlangsung.
Bank investasi Credit Agricole memperkirakan, kerugian akibat krisis politik di Mesir saat ini mencapai 310 juta dollar AS (sekitar Rp 2,8 triliun) per hari. Dalam laporan yang dirilis Jumat, bank tersebut juga merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi Mesir tahun ini dari sebelumnya 5,3 persen menjadi hanya 3,7 persen.
Kerugian lain disebabkan pemutusan jaringan internet oleh pemerintah, pekan lalu. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan, kerugian akibat diputusnya jaringan internet itu mencapai 18 juta dollar AS per hari.
Pemutusan jaringan internet secara sepihak oleh pemerintah itu juga menimbulkan risiko jangka panjang yang tidak kecil. ”Akan menjadi sangat sulit untuk menarik investor asing pada masa depan dan meyakinkan mereka bahwa jaringan (internet di Mesir) bisa diandalkan sepanjang waktu,” ungkap laporan OECD yang dirilis di Paris, Kamis.
Dari segi politik, Mesir harus bisa menjawab kekhawatiran pihak Barat—yang menjadi sekutu dan pemberi bantuan terbesar bagi Mesir selama ini—bahwa negara itu akan menjadi negara yang dikuasai kaum radikal dan akan memicu instabilitas lebih luas di kawasan Timur Tengah.
Kekhawatiran itu tecermin di Israel. Jajak pendapat yang dipublikasikan Kamis menunjukkan, 59 persen rakyat Israel yakin Mesir pasca-Mubarak akan dikuasai rezim Islam, sementara hanya 21 persen yang berpendapat Mesir tetap dikuasai rezim sekuler.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sudah menyampaikan kekhawatirannya, Iran akan membuat Mesir menjadi Gaza baru dan berkuasanya kelompok Islam garis keras, seperti Ikhwanul Muslimin, dikhawatirkan akan membubarkan perdamaian Mesir-Israel. ”Sangat sulit memperkirakan nilai keamanan, ekonomi, dan emosional perjanjian damai dengan Mesir itu. Kembalinya situasi konfrontasi meski tak dinyatakan terang-terangan, akan berdampak besar bagi kehidupan kita,” tulis analis Ofer Shelah di harian Yediot Aharonot.
Kekhawatiran Iran itu makin dipanaskan pernyataan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, Jumat. Saat memberikan khotbah shalat Jumat di Teheran, Khamenei menyerukan agar rezim Islam segera dibentuk untuk menggantikan Mubarak.
Khamenei mengatakan, jika revolusi di Mesir ini meluas ke seluruh Arab, seluruh kebijakan AS di Timur Tengah akan gagal dan perdamaian Mesir dan Israel akan bubar. ”Jangan mundur sampai terbentuk rezim populer berdasarkan agama,” seru Khamenei.

1 komentar:

Quickfuture (Landry) mengatakan...

nice

Posting Komentar